Saturday, October 1, 2011

Sabtu malam, langkah menuju kota kembang.

Sabtu itu terjadi 3 tahun lalu. Perjalanan pertamaku ke satu kota. Bandung.

"Benar tidak mau melanjutkan pembicaraan?" begitu katanya, pada satu pesan di ponselku. "Memang kamu mau apa? Aku temani sampai kamu pulas?" "Kalau memang bisa, kenapa tidak?" otakku memunculkan wajahnya yang tengah tersenyum kecil, senyuman jahil. Gagahnya naga-naga di film Eragon yang diputar tidak mampu merebut fokusku dari huruf-huruf itu.
"Aku sedang bersiap, menuju Bandung. Takutnya, bukannya aku menemani kamu, aku terlelap lebih dulu."
"Ah, begitu juga tak apa. Aku mau ikut kamu pergi, lewat sini." aku meleleh.

Tinggi. Namanya bagiku. Terdengar seperti kutu ya? Haha, tapi tubuhnya memang jauh meninggalkan kepalaku. Kemudian, katakan saja dia (sempat) dekat padaku, dan secuil hatiku (pun pernah) dia miliki. Kedekatan ini terkadang ia ubah menjadi jarak yang memisahkan. Di satu masa, dia bisa begitu baik dan menyenangkan. Di lain waktu, dia betul-betul membuat aku gemas. Dengan tidak mengacuhkanku, dan acuh pada subyek berambut panjang lain.

Jogja-Bandung. Bukan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di sana. Dan ketika bagian hatimu bersedia menyertai dan melewati penantian itu, tidakkah tiada satu mampu menolak?

Satu-persatu pesan saling bertukar. Tawa kecil beberapa kali keluar dari mulutku, atas guyonan-guyonan yang ia kirimkan. Tinggi. Tinggi sekali ia bawa hatiku.

Tengah malam. Setengah perjalan, entah ada di mana.
"Sudah malam, aku tidak mau membuat kelopak matamu beranak. Selamat tidur, hati-hati di sana. Aku berdoa untuk kamu. Aku ada buat kamu."

Bahagia, meski aku tidak tahu ada apa di tengah-tengah kita.
Perasaanku masih berbunga, terlambung jauh melewati batas bumi. Meski aku tak mengerti, apa yang esok akan terjadi.

Dan aku terpejam, mengakhiri hari. Menanti satu kota, bersama warna-warna merah jambu yang muncul di mana-mana. Jatuh cinta, lebih dalam. Di malam minggu, di sabtu malam.

No comments:

Post a Comment