Friday, December 30, 2011

Dengar, dengar.

Dengar, dengar. Sekarang aku punya janji, dengan aku. Harusnya tidak ada - lagi. Tidak ada -.

La.

Kenapa La? Itu, yang terlintas.

Mimpi, khayal, harap. Itu harusnya punya posisi di awal satu yang baik dan harusnya jadi kenyataan. Bukan di belakang satu yang terlanjur jadi nyata dan tidak bahagia.

H. Harap.

Dan harapan yang tersisa atas ini semua, aku tidak lagi banyak berharap.

Ini isi kepalaku. Kalau tidak ke sini, harus dibawa ke mana lagi?

Halo, kamu.
Baik, bukan?
Aku datang dengan satu cerita di ujung-ujung jariku.
Tentu, karena aku tidak akan membawanya ke kenyataan. Cuma rentetan gambar di kepalaku.
Untuk kamu tahu, isi kepalaku tengah menggali mencari sisa-sisa memori akan lembaran pesan satu arah.
Ya.
Dengan jemarinya, berusaha merekap setiap yang tertangkap.
Menjadikannya serangkai kata. Yang, ah, anggap saja jadi satu kenangan.
Hanya, ada bagian yang terlupakan. Mungkin terbawa aliran, yang entah bisa keluar melalui jalur yang mana. Jalur dan lintas di kepalaku sudah terlalu rumit.

Bila begini, kemudian apa yang harus aku cipta ingat dan rekap?
Sebuah cerita tanpa ujung?

Tuesday, December 27, 2011

Senja!

Ini pekat yang terlihat. Yang di dapat hasil berebut waktu dengan gelap!

4:23.

Halo, kamu.
Apa kabar?
Aku? Anggap saja baik-baik saja, dengan setangkup rindu di tepi kepala.
Kamu.
Kamu tau? Aku menghitung titik yang kau cipta setiap habis 24 jamnya. Dan terkumpul, ah, lupakan. Nominalnya tak mungkin dapat nomor urut dan jadi prioritas di kamu.

Hari ini sudah habis satu pekan dari kamu benar-benar menghapus setiap catatan. Kamu ingat? Dan entah sudah berapa waktu aku melihat dan berpaling dari halamanmu. Menyingkap lembar-lembar pesan searah yang, benar hilang.
Untuk kamu tahu, aku masih punya tanda tanya semegah monumen nasional di kepalaku.
Ke mana saja, kamu?
Kenapa? Kenapa hilang?

Ah!
Satu titik sebesar ubin di dapur.
Hilang atas itu?
Atas bertemumu dengan subjek lain?
Atas berubahnya kamu? Keadaanmu? Posisimu?
Tapi harus membawa entah ke mana memori yang sudah ada?

Monday, December 26, 2011

“Seorang filsuf Yunani pernah berkata
bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan
tersial adalah umur tua.
(Catatan Seorang Demonstran, h. 96)”
― Soe Hok Gie
“Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.”
― Chairil Anwar

“Nasib adalah kesunyian masing-masing.”
― Chairil Anwar

“Sekali berarti. Sudah itu mati.”
― Chairil Anwar

“Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib
adalah kesunyian masing-masing.”
― Chairil Anwar

“Kami coba simpan nestapa. Kami coba kuburkan duka lara. Tapi perih,
tak bisa sembunyi. Ia menyebar kemana-mana.”
― Chairil Anwar

“Hidup hanya menunda kekalahan.”
― Chairil Anwar, Derai-derai Cemara

“Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.”
― Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang
Yang punya hati sedang sibuk menghapus jejak dan memori masa lalu. Jangan di ganggu. Atau kalau perlu belikan saja kaleng cat yang baru.

Abaikan. Di sini hanya aku yang bicara.

Rindu itu bukannya tidak pernah ada. Hanya aku mau sembunyi darinya. Aku tidak lagi mau hidup di kisah itu. Kisahmu. Lelah. Aku terlalu lelah kamu naik turunkan perasaannya. Aku lelah kamu pupuskan harapannya. Aku lelah kamu tunjuki suatu yang bahagia, yang aku tiada di dalamnya. Dan, ya. Dengan jelas aku melihatnya. Aku melihat ada yang tak sama atasmu. Atas keadaanmu. Atas posisimu. Sedih? Ya. Perih? Tentu. Tentu saja. Terlebih bila tiba-tiba kamu benar menghilang. Seperti mencoba membawa pergi bau wewangimu yang tertinggal di aku. Seperti menghapus setiap titik yang terbawa ke mana bersama aku. Harus seperti itu? Ah, aku pikir aku akan baik di tepi jemarimu. Nyatanya tepian itu malah menggores aku. Kamu selama ini memang tidak mengerti, bukan?

Saturday, December 17, 2011

"I never told you what I should have said. No, I never told you, I just held it in.
And now I miss everything about you."

Ini aku, yang dipupuskan harapannya.

Senja hampir habis tergigit pekat. Kalau nanti bertemu gelap di ujung sekat, itu aku. Terlanjur kaku dan mengabu. Terlalu lama dibiarkan terjaga di tepi pintu. Siapa mengerti ada satu yang kembali. Hanya kamu tak mengerti, hanya kamu belum mengerti.

Kamu tahu? Tak hanya sekali-dua aku tertangkap layu, menanam harap pada layar ponsel. Melihatkan namamu.

Lalu. Memang. Sebuah nama. Tapi bukan kamu. Yang ada di ujung harap.
Halo, tidakkah kau melihatku? Ini aku, yang dipupuskan harapannya. Oleh tak hanya satu. Oleh tak hanya kamu.

Untitled.

There's a missing in every missing, right?

Untitled.

And it's driving me mad, I miss you so bad. -@sekarrw

Saturday, December 10, 2011

Mengertilah. Dengan atau tanpa hal yang aku tulis ini.

Ini perasaanku, atau sekitar memang menjadi lebih sesak?
Dipenuhi hal-hal menyedihkan.
Dipenuhi kesepian yang, ah, kenapa ramai sekali di sini?
Hei, ini benar sepi, bukan? Kenapa bukan hening yang masuk ke pusat kepalaku? Berapa lama sepi mulai mengeluarkan bunyi?

Aku ada di ujung tempat tidur dengan sekali-dua melihat dan berharap layar akan memunculkan sesuatu, kala huruf-huruf ini mulai berbaris. Mulai mencari urutan tepat menyampaikan isi kepalaku, yang harusnya aku bisa tunjukkan sendiri. Seorang pengecut masih diam, di dalam aku. Dan telingaku masih tersumpal gulungan kesepian.

Belum, belum habis 50 jam aku mendapatimu. Lalu bagaimana aku bisa menjadi ini? Kau tahu? Semacam terlalu berharap. Yang kemudian pikiranku kecanduan harap. Dan sekarang hilang. Harap milik kepalaku hilang. Kamu.

Ke mana saja? Aku tiada bisa menemukan bekas pijakanmu. Atau, terlalu sibuk untuk kembali. Sekedar melihat aku, mendengarkan bagaimana hariku? Tidak bisakah, sekedar menyampai sapa?

Ah, aku tahu, aku terlihat terlalu lemah di sini. Berharap, kehilangan, bertanya, meminta. Aku minta kamu garis bawahi kekataku, seorang pengecut sedang datang di aku.
Terlebih untuk memulai terlebih dahulu. Terlebih untuk benar-benar terlihat tengah mencarimu.
Kembali, ya? Atau pinta aku untuk benar-benar meminta kamu untuk kembali. Pinta ke aku.

Aku, yang terlalu berlebihan menghadapi ini.

Bahkan suara di kepalaku habis termakan lelah, meminta aku berhenti mencipta mimpi dan berharap yang terlalu tinggi. Meminta aku berhenti menunggu setiap yang, bahkan aku sendiri tau, tak tampak jelas titik hentinya.

Monday, November 28, 2011

Ini seperti yang aku bilang tadi.

Rasanya itu semacam kamu mau ngelus kepala orang, tapi malah ketoyor dan kepalamu ikut ketoyor. Noyor kepala sendiri itu bodoh.

Sunday, November 27, 2011

This. This!

When you've been told one's secret, you'd better keep it as secret, even in the end, you'll become his/her enemy. Show your quality. -@galileorahan

Untitled.

Dear, you. Tidak bisakah kamu tidak membuka lipatan masa lalu? Bukankah kamu tiada lagi mau mendapati hatimu tersayat memori semacam itu? Tak perlu itu kamu. Aku terluka, yang bukan kamu.

Ini aku cipta untuk, ah, anggap saja kamu.

Halo, kamu.
Apa kabar?
Ah. Ya, kamu benar. Tiada seharusnya aku memberilan tanda tanya. Aku yang mendengarmu, tidak hanya sekali-dua. Aku mengerti setiapnya.

Kamu tahu? Untuk menjadi satu yang besar kamu perlu menjalani satu waktu. Proses.
Naik, turun. Bangun, jatuh. Bahkan tertawa, dan menangis.
Menjadi subyek yang besar seharusnya pula menjadi sosok yang kuat. Dan ya, seperti yang pernah aku tunjukkan, beberapa waktu sebelum ini. Orang yang kuat bukanlah yang tidak menangis. Tapi tidak ingatkah kamu? Menangis bukanlah berhenti, menyerah, memutus asa, terlebih pasrah. Tapi meminta beberapa detik waktu kehidupan untuk kamu melepas setiap berat yang menempel di pikirmu, setiap lelah di lekuk tubuhmu. Dan melanjutkan perjalanan, sehabis dedetik istirahat.

Bukankah kamu punya ingin membawa tinggi namamu, mencipta lengkung indah di wajah para yang kau kasih. Bukan?

Merasa tiada lagi alasan bagimu untuk bertahan, bertemu tekanan dari orang di sisi kiri-kanan, ditinggalkan. Dan berhenti atasnya. Haruskah diperbuat seorang hebat di masa depan sepertimu?

Hei, berdirilah! Hadapi setiap halnya, dan kirimkan pinta kepada Dia.

Saturday, November 26, 2011

Sengaja saya buat sendiri. Katanya ini Aku, Chairil Anwar.

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan
merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya
terbuang
Biar peluru menembus
kulitku
Aku tetap meradang
menerjang
Luka dan bisa kubawa
berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak
perduli
Aku mau hidup seribu
tahun lagi
Maret 1943

Chairil Anwar's.

HAMPA

kepada sri
Sepi di luar. Sepi
menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak
bergerak
Sampai ke puncak. Sepi
memagut,
Tak satu kuasa melepas-
renggut
Segala menanti. Menanti.
Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi
mencekik
Memberat-mencekung
punda
Sampai binasa segala.
Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan
bertempik
Ini sepi terus ada. Dan
menanti.


DOA

kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut
namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh
seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di
kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di
negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari
warna pelangi
Kau depanku bertudung
sutra senja
Di hitam matamu
kembang mawar dan
melati
Harum rambutmu
mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam
dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam
jiwa
Dan dalam dadaku
memerdu lagu
Menarik menari seluruh
aku
Hidup dari hidupku, pintu
terbuka
Selama matamu bagiku
menengadah
Selama kau darah
mengalir dari luka
Antara kita Mati datang
tidak membelah

Ini Penerimaan. Chairil Anwar.

Kalau kau mau kuterima
kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang
dulu lagi
Bak kembang sari sudah
terbagi
Jangan tunduk! Tentang
aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima
kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin
aku enggan berbagi.
Maret 1943

Thursday, November 24, 2011

Nothing. Seriously, it's Nothing. The Script.

Am I better off dead?
Am I better off a quitter?
They say I'm better off now
Than I ever was with her
As they take me to my local
Down the street
I'm smiling but I'm dying
Trying not to drag my feet
They say a few drinks will help me to forget
her
But after one too many I know that I'm
never
Only they can see where this is gonna end
But they all think I'm crazy but to me it's
perfect sense
And my mates are all there trying to calm me
down
'Cause I'm shouting your name all over the
town
I'm swearing if I go there now
I can change your mind, turn it all around
I now that I'm drunk but I see the worst
If she'll listen this time even though this lust
I'll dial her number and confess to her
I'm still in love but all I heard was nothing
So I stumble there, along the railings and the
fences
I know I'm with her face to face, that she'll
come to her senses
Every drunk stand by tend leads me to her
door
If she sees how much I'm hurting, she'll take
me back for sure
And my mates are all there trying to calm me
down
'Cause I'm shouting your name all over the
town
I'm swearing if I go there now
I can change your mind, turn it all around
And I now that I'm drunk but I see the
worst
If she'll listen this time even though this lust
I'll dial her number and confess to her
I'm still in love but all I heard was nothing
She said nothing
Oh, I wanted words but all I heard was
nothing
Oh, I got nothing, oh, I got nothing
Oh, I wanted words but all I heard was
nothing
Ohh, sometimes love's intoxicating
Ohh, you're coming down, your hands are
shaking
When you realize there's no one waiting
Am I better off dead?
Am I better off a quitter?
They say I'm better off now
Then I ever was with her
And my mates are all there trying to calm me
down
'Cause I'm shouting your name all over the
town
I'm swearing if I go there now
I can change your mind, turn it all around
And I now that I'm drunk but I see the
worst
If she'll listen this time even though this lust
I'll dial her number and confess to her
I'm still in love but all I heard was nothing
She said nothing
Oh, I wanted words but all I heard was
nothing
Oh, I got nothing, I got nothing
I wanted words but all I heard was nothing
Oh, I got nothing
I got nothing, I got nothing, I got nothing

Ini rahasianya. Dangkal, tetapi.

Kamu tahu?
Aku sekali-dua masih mengalihkan pandang ke arahmu. Ke asalmu. Ke halamanmu.
Kamu tahu?
Aku selalu berkata tidak untuk setiap namamu yang tersebut di tanya orang-orang. Meski banyak nama yang tertera, dalam konteks yang sama.
Kamu tahu?
Tidak lagi satu mau aku paparkan waktu ini, mungkin lain kali.

Ini cerita yang lahir, hasil kekata ibu guru yang sukar tercerna. Dengan jemari yang mulai meringis.

Kamu lihat aku? Tertekuk dengan bekas pena di jarinya. Sakit, kau tahu? Percuma? Percuma kau kata? Ya. Aku tahu ini percuma. Dengan pena, terluka. Dengan kepala, tak terkena.

Sisanya semakin memutih. Lukanya semakin perih. Kamu tahu? Atas itu semakin meruntut huruf-huruf yang tertulis bagimu.

Hei, ini ujian akhir semester!

Ini ujian akhir semester, dan ada memori di fase yang sama periode sebelumnya. Kamu tahu? Aku rindu komponen terbesar atas memori itu.

Oh, tidak bisakah kamu tetiba muncul di ujung mataku. Menangkap gelagat gemetarku. Mendapati rona merah pada aku. Melengkungkan senyum di pucuk ruang ujianku? Aku ingin lihat senyum besar hasil penjumlahan 2 lengkungan atasmu.

Kenapa? Kenapa kamu? Kamu. Kamu memori itu.

Monday, November 21, 2011

Remember when. Ketika kau dan aku jatuh cinta.

Apa pun yang kau katakan, bagaimanapun kau menolaknya, cinta akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya.

Bagi kita, senja selalu sempurna; bukankah sia-sia jika menggenapkan warnanya? Seperti kisahmu, kau dan dia, juga kisahku, aku dan lelakiku. Tak ada bagian yang perlu kita ubah. Tak ada sela yang harus kita isi. Bukankah takdir sudah jelas?

Lalu, saat kau berkata, "Aku mencintaimu", aku meras senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-katmu itu ambigu? Atau, aku saja yang menganggapnya terlalu saru?

"Aku mencintaimu," katamu. Mengertikah kau apa artinya? Mengertikah kau kalau kita tak pernah bisa berada dalam cerita yang sama, dengan senja yang sewarna?

Takdir kita sudah jelas. Kau, aku, tahu itu.



Winna Efendi.

Friday, November 18, 2011

Untitled.

Aku tiada lagi mau mengerti segala ini. Terlalu banyak perih yang tertinggal atas gegerak pula ucapnya. Kau tahu?

Thursday, November 17, 2011

Ini, malam minggu?

Ini malam minggu, dan jarum jam masih menggandeng digit ke sembilan.
Ini malam minggu, hiruk kota masih tercium aromanya.
Ini malam minggu, ayah-ibu-kakak-adik bergandenga melewati aku.
Ini malam minggu, dan sudah lebih dari dua belas kali enam puluh menit ekor mataku tidak bertemu kekasihnya yang mendamaikan. Rumah.
Ini malam minggu, aku pula kekawanku tiada berita bahagia yang tersimpan di ransel besarnya untuk dibawa pulang.
Ini malam minggu, bahan putih elastis milik adikku masih melapis di sekitaran aku.
Ini malam minggu, dan akar-akar otakku mulai menjalar ke sana-sini.

Ini sudah terlalu lama, sampai kapan aku seperti ini?

Ini teknologi, tapi aku selalu menaruh benci pada ekornya.

Paduan hujan, koneksi internet, dan tertawaan. Waktu seperti tak berlalu, tapi nyatanya sudah terlalu jauh meninggalkanmu.

Ini antara aku dan satu. Dengan perubahan, dan sisa-sisa ingatan.

"Bagi kamu, seorang yang kuat itu seperti apa?"
"Seorang yang kuat itu, bukan orang yang tidak menangis. Kamu tahu?"
"Ya, tapi meski begitu. Seorang yang kuat harusnya tiada pernah terhenti oleh tangis."
"Tangis hanya boleh kamu jadikan label beristirahat di pucuk kepalamu. Bukan berhenti. Bukan menyerah."
"Karena segala di dunia ini tidak ada yang memiliki sedih untuk penutup. Yang ada hanya bahagia sebagai akhir. Bila kamu belum bertemu bahagia itu, berarti itu bukan akhir semuanya."
"Dan bila kamu sudah bertemu satu bahagia, temukan bahagia lain di luar sana."

Dan, hal ini terjadi lagi. Kau tahu?

Memori bagaimana kamu menghentikan kerja setiap sel tubuhku masih tercetak jelas di ujung kepalaku. Belum habis terjejak yang lain. Tapi sekarang kamu perjelas lagi. Teballah kembali ingatan itu.



Pernah merasakan hal ini?
Ketika ekor matamu menangkap satu sosok.
Yang dengan melihatnya saja bisa membuatmu tak karuan.
Jantungmu seperti berhenti berdegup.
Setiap sarafmu melemah.
Dan jarum jam berhenti berputar.
Pernahkah?



Ingatan yang ini, maksudku.

Dan, halo. Tidakkah kamu menangkap paling tidak siluet gegerakku? Tidak? Dengan semua lemah pula gemetar batang lenganku ini?

Ah. Ini sudah kamu yang lain. Pula aku yang tidak lagi serupa dengan masa lalu.

Tuesday, November 15, 2011

Remembering this words.

The only thing you have to do is face the thing. Don't step backwards. And you'll find the happiness.

Thursday, November 10, 2011

Sekarang kamu bisa lihat di sini.

Ini yang namanya patah hati?
Benar? Hati?
Dengan begini bahkan setiap sel tubuhku meringis perih.
Setiapnya menangis pedih.
Juga aku, menangis.

Ini masih pagi buta.
Tapi langit tak bangun juga.
Belum ia pasang riasan di wajahnya.
Masih garis-garis gelap yang kutemu di sana.
Tanah basah sisa tangis semalam.
Patah hati jugakahnya?

Sunday, October 30, 2011

Need you, now?

"Guess, I'd rather hurt than feel nothing at all." -Lady Antebellum.

But, no. I'd rather feel nothing. But, no. Not at all.

Hari ini tanggal, ah masih sama dengan milik tahun lalu.

Hari sudah gelap. Sudah lama malah, membawa terang pulang.
Habis 2 kali 60 menit aku pakai, membuka- membaca-mengingat-membuang dengan lipatan. Jauh-jauh.

Aksara-aksara masa lalu muncul lagi di layar.
Nama-nama menyedihkan, pula bahagia kembali lagi mengisi kepalaku. Tiada setitik tersisa untuk ilmu alam.

Hari 1, A datang kepadaku.
Hari 2, A bawa aku sesuatu.
Hari 3, A tersenyum atasku.
Begitu.

Yang lain? Rentet-rentet kalimat jejaring, yang begitu klise mendarat di alamat setiap satu.
Hapus. Tinggalkan. Hapus. Hapus. Hapus. Tinggalkan. Hapus.
Begitu lagi.
Sampai hampir menuju awal aku temukan. Dulu kamu tak menemukan lelah menunggu kataku. Coba lihat sekarang. Aku beri selamat bagimu. Hebat.

Sekarang aku yang tidak bertemu ujung asa menanti kalimat milikmu, hanya saja kamu sudah terlalu jauh aku buat.

Ternyata hari gelap.

Aku ini sepi.
Bukan. Bukan kesepian.
Aku sepi.
Kau lihat? Hingar di tepianku.
Tapi tiada satu berubah.
Aku masih sepi.

Angin. Angin. Angin.

ANGIN, 1

Sapardi Djoko Damono

Angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "Hei siapa ini yang mendadak di depanku?"

Angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi.

-- sampai pagi tadi:

Ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

ANGIN, 2

Sapardi Djoko Damono

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.

Seekor ular lewat, menghindar.

Lelaki itu masih tidur.

Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang

di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

ANGIN, 3

Sapardi Djoko Damono

"Seandainya aku bukan ......

Tapi kau angin!

Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,

menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.

"Seandainya aku . . . ., ."

Tapi kau angin!

Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.

"Seandainya ......

Tapi kau angin!

Jangan menjerit:

Semerbakmu memekakkanku.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

Ini baru yang pertama, sisanya belum tercipta.

Dia lelaki yang berdiri paling lama. Bertahan, mungkin selamanya. Selama dia bisa membawa raga dan kawannya, di darat kehidupan.
Ya, paling lama. Ya, selamanya. Ya, dia tak mengenal siapa.
Tidak, dia tidak bertemu ujung asa. Tidak, dia tak lelah berjaga. Tidak, dia tak pula lupa apa yang harus ia bawa di kala senja. Esok pagi, dan tetap bernyawa.
Selamat pagi, Dunia. Tiada lagi manusia. Aku? Ah, aku masih manusia. Yang tersisa.
Begitu tebakku, atas kata hatinya. Kata hati, sejalan menyapa manekin-manekin tengah bersenda di ujung-ujung persimpangan. Namun raib, ketika seorang berambut gelap. Sutra melapis. Senyum tipis merah jambu, ia temui di tengah hari. Seorang, manekin tentu saja.
Jatuh cinta? Bisa saja. Mau dengan siapa? Bukan, bukan manekinnya. Wanita. Ia temui setelah dia selesaikan semuanya.
Pagi ini areal pekat yang menampung pesakit-pesakit kembali ia sambangi, bersama kawan kecilnya. Tentu tepat di kiri langkah-langkah panjangnya.
Tidak. Tuhan, tolong jangan. Jangan biarkan dia kehilangan tanggungan. Kehilangan kehidupan!
Syukurlah! Terima kasih, Tuhan.
Makhluk ini benar tercipta sebagai kawan manusia. Dia kembali.

Hujan bulan Juni.

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni.
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu.

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni.
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu.

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni.
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.


Sapardi Djoko Damono.

Sunday, October 23, 2011

Leo Tolstoy's.

Art is not a handicraft, it is the transmission of feeling the artist has experienced.

Truth, like gold, is to be obtained not by its growth, but by washing away from it all that is not gold.

All happy families resemble one another, each happy familly is unhappy in its on way.

All, everything that I understand, I understand because I love.

If so many men, so many minds, certainly so many hearts, so many kinds of love.

In the name of God, stop a moment, cease your work, look around you.

Éclair. Pagi Terakhir di Rusia.

Seandainya bisa, aku ingin terbang bersamamu dan burung-burung di atas sana. Aku ingin terus duduk di bawah teduhnya pohon-berbagi éclair, ditemani matahari dan angin sepoi-sepoi. Aku ingin terus menggenggam jari-jemarimu, berbagi rasa dan hangat tubuh-selamanya.

Sayangnya, gravitasi menghalangiku. Putaran bumi menambah setiap detik di hari-hari kita. Seperti lilin yang terus terbakar, tanpa terasa waktu kita pun tidak tersisa banyak. Semua terasa terburu-buru. Perpisahan pun terasa semaikn menakutkan.

Aku rebah di tanah. Memejamkan mata kuat-kuat karena air mata yang menderas "Aku masih di sini," bisikmu, selirih angin sore. Tapi aku tak percaya. Bagaimana jika saat aku membuka mata nanti, kau benar benar tiada?

Prisca Primasari.

23, October, 2011.

Pernahkah kamu, merasakan sesuatu seperti ini?
Perasaan ketika kamu, oh sungguh!
Benar-benar tak ingin menjejakkan telapak kakimu ke permukaan bumi manapun.
Tapi ada satu hal yang, kau tahu?
Yang bilamana kau mampu mengalah pada enggan hatimu.
Mungkin ada satu hal bahagia, yang bisa saja terjadi padamu.
Aku? Ya, aku.

Thursday, October 20, 2011

20, October, 2011.

I love photos, because the best thing about it is never change even the person inside it does.

Pernah mendengar kalimat seperti tadi?
Pernah merasa begitu bodoh sempat membawa rendah huruf-huruf tadi, sampai pada akhir kalimat ini yang menang kompetisi atasmu?
Aku? Dengan perasaan yang benar-benar menghitam, aku benarkan.
Ya. Aku benar dikalahkan.
Tuhan, seandainya bisa bisakah bawakan lagi aku waktu itu kembali meski aku harus menukarkan dengan materi? Bisa, Tuhan. Katakan aku mampu mendapatkannya. Aku mampu.
Sayang, dari kejauhan seperti Tuhan menjawab hatiku. Tidak.

Bodoh. Bodoh. Aku ini tak sepenuhnya apa yang dikata para yang mengenal aku.
Masih ada bodoh dalam aku, kalian tahu?
Dan, mungkin perasa yang tak bisa mengerti ini akan menambahkan sangat di sebelah bodoh yang terlanjur bersisian dengan namaku.
Bodoh.

Aku pernah tak acuh pada kalimat entah milik siapa itu.
Dan baru saja, kau tahu?
Aku menang, kemenangan yang menggandeng hitam.
Aku mampu mengubah segala hal yang sudah terbingkai manis yang harusnya tetap menjadi indah yang tiada mungkin mampu berubah.
Hebat kau bilang? Bodoh, ini bodoh. Kalah pun menang, tetap memperjelas busur panah yang berlabel bodoh. Di atasku.
Atas sok tahuku. Atas keyakinanku. Atas percayaku akan kata mereka yang aku todak pernah banyak bercela.

Bukan. Bukan mengubah posisi kehidupan di dalamnya.
Tapi aku. Aku mengubah anak lensa kehidupan potongan kenyataan itu sendiri.
Aku mematikan dia.

Ah! Mungkin kau akan membawa perasaanku ke tanah bila bisa melihat secara gamblang, dan bilang,
"Kamu tidak bodoh. Kamu hanya tak mengerti bagaimana garis hidup yang harus dilewati anak hasil mata ponselmu itu. Tenanglah, ini semua bukanlah membawa bencana besar."
Tidak akan datang bencana besar, katamu? Tuhan, putuskan aku mampu bertahan.
Bukan. Memang bukan manusia-manusia berharga tinggi pada hidupku. Yang tinggal di situ. Aku. Cuma aku.
Katakan saja akuhidupkan lagi masa laluku.
Anggap saja aku nyatakan lagi tangis lamaku.
Percayalah aku nyatakan lagi senyum di lampau milikku.
Lewat situ.
Dan untuk kau tahu, aku mematikan masa laluku.
Aku hapus memori-memori tuaku.
Entah hal apakah yang harusnya aku sandingkan dengan hatiku. Benci?
Ah. Tidak lagi nyata alasan aku melampaui kenyataan sampai batas ini. Aku lebih dari benci.

Saturday, October 15, 2011

8:34.

"Sekali nggak terima, yaa nggak terima kita sekolah di P." -Laili Nugraheni, 16, Pelajar hasil lemparan.

Wednesday, October 12, 2011

Ini hal yang dia minta? Enak saja.

Hujan? Benar, ini benar-benar hujan.
Aku harus bagaimana sekarang?
Pulang. Seharusnya aku pulang.
Tentu, rumah yang harusnya aku tuju.
Tapi, bukankah rumah harusnya jadi tempatmu mendekam.
Menghindar dari segala yang mengejar.
Melepas setiap yang kiranya merampas.
Berselimut di hari hujan?
Dan semua bukan ini mengartikan bukan rumah yang aku punyai sekarang.
Apakah itu, tempatku mendingin tanpa kata-kata, yang disebut rumah?
Apakah itu, di mana daun telingaku memerah atas marah, pantas aku sebut rumah?
Apakah itu, papan asaku berhenti di tengah perjalanan tanpa ada yang menghubungkan, adalah dikata rumah?
Bukankah, harusnya bukan aku kembali ke sana?
***
Snap! Bel penghenti jam belajar usai menyanyikan lelagunya.
Tulis yang aku benci topik dan akarnya ini bisa aku kembalikan ke Bapak Budi.
Enak saja, dia pikir sampah apa yang dia minta?
***
Ibu, aku lapar. Masak apa hari ini?

Monday, October 10, 2011

Petrichor.

Oktober baru turun dari kereta yang membawanya pulang dari peraduan.
Sudah tiba sejak 10 kali 24 jam lalu, malah.
Hanya saja wangi-wangi Petrichor tak kunjung menampakkan.
Petrichor?
Kau tahu, aroma rindu antara langit dengan bumi.
Hujan pada daratan.
Bebauan pra pertemuan.
"Tak rindukah kau pada lapisan yang sekarang kupijak, tuan? Atau tak lagi tertarik sampaikan rindumu lewat titik-titik sungai langit? Oh, kalian sudah saling berhubungan lewat ponsel, mungkin." aku hadapkan kepalaku kepada langit, aku tujukan tanyaku kepada awan.

Sunday, October 9, 2011

Katanya hadiah buat dia.

Hari itu Tuhan berbukti kepadaku.
Hadiah besar tak selalu berkemas kertas.
Hadiah besar tak selalu sebuah kejutan.
Kamu.
Ya, kamu.
Aku ingat betul bagaimana dia, orang yang mengambil aku dari ibuku, begitu bahagia.
Bahagia mendapati kamu sudah aku rengkuh beberapa waktu.
Dan, ah, untuk kau tahu saja.
Kau nakal waktu itu!
Kamu pikir aku ini apa? Seenaknya saja kamu daratkan ujung jemari kaki ke tubuhku.
Eh, tidak. Tidak, tidak.
Apa yang kamu buat itu tetap jadi senyum bagiku.
Saat itu juga. Aku tersenyum, memori itu menetap juga ternyata.
Padahal angka yang mengalikan 365 hari itu sudah beranak banyak.
Hmm, waktu cepat berlalu bukan, sayangku?
Sekarang kau menginjak tanah dewasa.
Kamu menawan dengan bahan merah muda dan rambut ditata.
Sayang, bukan lagi kamu milikku seutuhnya.

Dengan cinta,
ibunda.


PS: Kalau kamu disakitinya, menggelayut lagi di bahuku. Aku ajari bagaimana perlakukanmu.

Saturday, October 8, 2011

Unknown.

If you love somebody, let them go.
If they return, they were always yours.
If they don't, they never were.

9, October, 2011.

Aku tidak mengerti.
Sungguh!
Kebetulan, atau memang jalan Tuhan?
Membawa mataku kembali lagi padamu. Setelah begitu lama aku terlupa.

Untung saja!

Jendela di tepi ruang tamu masih aku biarkan terbuka.
Sengaja. Biar jemari lembut udara luar bisa menyentuh pipiku.
Biar angka-angka hasil ujian di sekolah hari ini terbang meninggalkan kepalaku, paling tidak sementara. Batinku.
Tunggu, suara kaki melangkah ada di depan situ!
Gerakan reflek kakiku membawa aku pergi. Meninggalkan pinggiran bingkai jendela.
Kecil-kecil aku mencoba melihat ke jalan depan.
Baru saja.
Sepasang mata hitam itu menemukan aku.
Pandanganku menabrak dia.
Tidak. Dia tidak terjatuh.
Tapi aku. Aku yang tenggelam. Tenggelam jauh di matanya.
***
Permukaan pintu rumahku tersentuh. Terketuk, dan bersuara.
Pemilik mata hitam tadi, datang.
Ah! Pantas saja aku sampai tenggelam.
Aku mengenalnya. Aku pernah jatuh karena dia.
Jatuh cinta.
***
Untung saja, aku biarkan jendela itu terbuka!

Kenapaaaaa. Dengan lima ekor a.

Pernah merasakan hal seperti ini?
Ketika ekor matamu menangkap satu sosok.
Yang dengan melihatnya saja mampu menjadikanmu tak karuan.
Jantungmu seperti berhenti berdegup.
Setiap saraf dalam tubuhmu melemah.
Dan jarum jam seakan berhenti melangkah?

Wednesday, October 5, 2011

Ibu guru yang berpakaian warna-warni itu.

Berlari, mengejar anak lelaki yang sengaja menarik sebelah kuciranmu. Jadi tidak seimbang yang kiri dan kanan.
Tertawa, bahkan terbahak. Ketika ibu guru berpakaian warna-warni itu menggelitik perut dan tengkukmu.
Menangis, menenggelamkan kepala di jangkauan kedua tangan di atas meja. Di keramaian, di hadapan teman-teman.
Menjadi sok jagoan, dan ganti memaksa tangis dan jeritan keluar. Merebut ayunan, jejungkitan, dan perosotan yang telah berkepunyaan.

Tuhan, tidakkah itu semua menyenangkan?
Memiliki teman yang akan berseru "Hei, kenapa menangis? Aku? Maaf.", menundukkan kepala dan mengiba.
Saling berteriak atas bangku ayunan yang dapat terbang, sampai-sampai ibu guru menggeret salah satu dari kami.
Dan menyatakan perasaan dengan cara yang menyenangkan, seperti sengaja menggeret ujung pakaian atau saling menggoda dan mengadu.
Oh, benar Tuhan! Segala itu menyenangkan!
Tiada bisakah aku sekali saja bermimpi, kembali, dan memperbaiki isi hati yang terlanjur patah ini?

Tuesday, October 4, 2011

Jemari bercerita.

Kisah ini terjadi beberapa purnama sebelum jemari saya bercerita.

Masih musim panas, di akhir bulan Juli. Gadis berambut hitam sebahu itu sibuk mengoceh di buku catatannya. Menggambarkan bagaimana dia bertemu sosok menyenangkan itu. Belum sampai setengah cerita, ia tutupi kisahnya dengan benang-benang kusut yang menyumbat kepalanya.
Air muka yang dulunya menyimpan kepolosan, tidak lagi sekarang. Hanya penyesalan. Dan air mata.
Kemana hilangnya dia? Tanganku apakan dia? Apa yang selama ini aku pikirkan terhadap dia? Suara hati dan isi kepalanya tak pernah berhenti mempertanyakan ini.
Memuakkan. Begitu umpatnya dalam hati, ketika dia harus menjadi burung hantu tunggal yang tak bersuara. Hinggap di pagar rumah seorang kaya, dan mendengarkan segala kebisingan yang berlalu-lalang.
Benci. Benci. Ini bukan hal yang benar dia inginkan. Bodoh. Bodoh sekali. Umpatnya lagi dalam hati.
Setelah selesai ia mengirimkan pesan terakhir, kepada pasangan hatinya. Yang dia anggap berusaha melepaskan pegangan. Yang dirasa tak lagi merengkuh erat.

Di lain garis lintang dan bujur, sebuah ponsel jatuh dari genggaman pemiliknya. Yang nyatanya sengaja memisah. Yang tengah mempersiapkan masa depannya, dan bersiap mengakhiri jarak yang akan terus ada antara dia dan kekasihnya.

Sang gadis kehilangan kejutan ulang tahun buatnya, dan cincin permata yang siap menjemputnya.

Sunday, October 2, 2011

Perbedaan ini aku cari sama-sama.

Tak selamanya milik kandang para pengicau. Tuhan juga menciptakan untuk hidup. Masing-masing satu.
Bedanya, Tuhan terlebih dulu menyelesaikan linimasa hidup dengan berbagai jalan cerita.
Sedang twitter, hidup perlu dilalui sebelum kamu menuliskan segala kisah di linimasanya.

Tuhan sudah menyiapkan, siapa teman mengelana bagi kamu.
Kamu bisa saja menemui manusia itu, di linimasa.
Dan aku menemukan kamu, yang bisa saja dijadikan-Nya jodohku!

Tuhan baik-baik menyisipkan angka-angka berarti bagimu.
Angka yang menunjukkan aku datang ke dunia.
Yang bisa dipakai nenekku membanggakan pernikahannya.

Bertemu, berpisah, mengulang waktu, mendapatkan sesuatu, dan yang terakhir itu.
Akhir yang telah tertuliskan, yang membuat kamu harus rela tidak mengumumkannya ke linimasa. Dan merapalkan doa-doa terakhir, pengakuan atas kepemilikan Tuhan.

Mungkin yang paling penting.

"Yang kau inginkan, tak selalu yang kau butuhkan. Mungkin memang yang paling penting." dengan perasaan gamang, aku menyenandungkan. Sambil terduduk di bangku taman, menerawang jauh menembus jungkat-jungkit dan perosotan yang diperebutkan jubelan orang. Isi kepalaku meninggalkan raganya yang disentuh-sentuh udara.

"Halo, sendirian?"
"Iya. Mau duduk? Duduk aja."
"Deo."
"Rila."
"Sengaja atau terbawa inih?"
"Hm?"
"Haha, patah hati ya, non? Ngelamun aja."
"Urusan kamu?"
"Bukan, tapi emang bener sih lagu kamu tadi."
"Lagu?"
"Yup, yang kamu inginkan tak selalu yang kamu butuhkan. Cinta yang kamu rindukan belum tentu yang kamu butuhkan, non."
"Dih!" pergi. Bersama tas jinjing dan gelas plastik bersisa kopi panas, aku pergi meninggalkan dia.
------------------------------------
Jauh melewati memori bertukar nama di bangku taman yang, ah ingin rasanya aku melempar sesuatu ke wajah Deo bila ingat akan katanya.
Kini aku jatuh cinta.
Benar apa katanya, dia yang sekarang aku genggam tangannya, cinta yang aku rindukan belum tentu yang aku butuhkan.

Saturday, October 1, 2011

Sabtu malam, langkah menuju kota kembang.

Sabtu itu terjadi 3 tahun lalu. Perjalanan pertamaku ke satu kota. Bandung.

"Benar tidak mau melanjutkan pembicaraan?" begitu katanya, pada satu pesan di ponselku. "Memang kamu mau apa? Aku temani sampai kamu pulas?" "Kalau memang bisa, kenapa tidak?" otakku memunculkan wajahnya yang tengah tersenyum kecil, senyuman jahil. Gagahnya naga-naga di film Eragon yang diputar tidak mampu merebut fokusku dari huruf-huruf itu.
"Aku sedang bersiap, menuju Bandung. Takutnya, bukannya aku menemani kamu, aku terlelap lebih dulu."
"Ah, begitu juga tak apa. Aku mau ikut kamu pergi, lewat sini." aku meleleh.

Tinggi. Namanya bagiku. Terdengar seperti kutu ya? Haha, tapi tubuhnya memang jauh meninggalkan kepalaku. Kemudian, katakan saja dia (sempat) dekat padaku, dan secuil hatiku (pun pernah) dia miliki. Kedekatan ini terkadang ia ubah menjadi jarak yang memisahkan. Di satu masa, dia bisa begitu baik dan menyenangkan. Di lain waktu, dia betul-betul membuat aku gemas. Dengan tidak mengacuhkanku, dan acuh pada subyek berambut panjang lain.

Jogja-Bandung. Bukan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di sana. Dan ketika bagian hatimu bersedia menyertai dan melewati penantian itu, tidakkah tiada satu mampu menolak?

Satu-persatu pesan saling bertukar. Tawa kecil beberapa kali keluar dari mulutku, atas guyonan-guyonan yang ia kirimkan. Tinggi. Tinggi sekali ia bawa hatiku.

Tengah malam. Setengah perjalan, entah ada di mana.
"Sudah malam, aku tidak mau membuat kelopak matamu beranak. Selamat tidur, hati-hati di sana. Aku berdoa untuk kamu. Aku ada buat kamu."

Bahagia, meski aku tidak tahu ada apa di tengah-tengah kita.
Perasaanku masih berbunga, terlambung jauh melewati batas bumi. Meski aku tak mengerti, apa yang esok akan terjadi.

Dan aku terpejam, mengakhiri hari. Menanti satu kota, bersama warna-warna merah jambu yang muncul di mana-mana. Jatuh cinta, lebih dalam. Di malam minggu, di sabtu malam.

Friday, September 30, 2011

Hehuruf sore.

Ciuman pertama?
Hmm, bedak bayi-minyak telon-cologne paling wangi tapi tidak bertahan cukup lama itu?
Bukan.
Bukan bau dari orang yang aku cium.
Tidak.
Aku tak pula menumpahkan semua itu di wajahku sebelum berciuman dengan seseorang.
Mencium tak selalu dengan bibir bukan?

Friday, September 23, 2011

Kenyataan yang tak nyata. Dunia yang tak mendunia.

Aku usai berkelana.
Memainkan papan kayu yang kubawa ke negeri Bahari.
Menyingkap satu-persatu rerumput laut.
Menatap atas bebatu karang.
Atas makhluk hidrogen oksida.
Menemukan arti setiap maknanya.
Hingga aku menemukan satu kata.
Yang tak nyata.
Seperti dunia.
Yang katanya tak selebar daun kelor.
"SEHARI SAJA. Kami mengepak koper lalu berpisah di ujung jalan. Ternyata selamanya."
Entah oleh siapa.

Peka. Tak peka. Peka tak peka.

"Kemungkinannya, banyak yang mendekat padamu. Hanya saja pekamu tak peka." Seseorang, dengan perubahan. Kepadaku.

Tuesday, September 20, 2011

Kata yang tak teracuhkan.

Yang menyenangkan dari hal ini adalah, dia lebih baik dari seorang teman meski tak lebih baik dari seorang yang lebih dekat.
Kau bisa saja membuncahkan segala pada batang tenggorokmu, namun kau takkan pernah mendapat balasan darinya.
Tapi jangan pernah lupa, bahwasanya tak semua tanda tanya pada otakmu membutuhkan titik. terkadang yang ia perlukan cukup sebuah koma.
Tidak semua tanyamu membutuhkan jawaban. Satu waktu dia hanya memerlukan pelampiasan. 
Dan pada hal itulah aku menggali, menemukan komaku.
Meletakkannya dalam saku pada hati, dan mengubur semua kata pada lubang sisa galian.
Dan saat ini, aku tengah menggali. Dalam. Begitu dalam. Bukan untuk koma, hanya tanda tanya.
Isi kepalaku bilang, aku masih punya tanda tanya. Namun dalam entah berapa kali dua puluh empat jam ini, hati tak kunjung bertemu dengannya.
Atau, aku harus berlari? Lalu terbang. Mengambil ancang-ancang, dan menangkap tanya yang berterbangan.

Thursday, September 8, 2011

Words.

Akan kukirimkan perkamen buram, yang dapat menuliskan kata. Bagimu, yang usai melewati se-per-entah-berapa masa hidupmu. Bersama dedoa yang kuterbangkan bersamanya.

Wednesday, September 7, 2011

Berlarilah menuju bahagiamu.
Aku melepaskanmu kini.
Tiada lagi macam pertanyaan mencercamu.
Kembalilah.
Kembalilah ke pelukan ibu alammu.

Alasan atas kamu.

Kamu.
Kamu adalah alasan untuk aku menulis segala kata.
Kamu adalah alasan tercipta segala rasa, pada perasaanku.
Kamu adalah gambar-gambar yang terlukis pada langit sore.
Kamu adalah segala hal menyenangkan dalam hidupku.
Kamu adalah lilin pada gelapku.
Kamu adalah pemilik nama yang terpatri di ingatanku.
Kamu adalah alasan aku menunggu di senja hari yang tak cerah.
Kamu adalah pembangkit senyumku bertenagakan perasaan.
Kamu adalah alasan muncul deru angin lembut yang menyenggol, saat aku memejamkan mata.
Kamu adalah nyanyian yang terdengar dari kejauhan, namun begitu jelas tertangkap telingaku.
Kamu adalah pengisi hatiku dalam keadaan default.
Kamu.
Kamu.
Kamu.

Seharusnya begitu juga aku.

Maafkan aku, yang sempat mempertanyakan eksistensi akan Tuhan. Tapi dari kalimat pepatah yang katanya adalah benar, aku belum banyak melihat kebenaran terjadi. Aku. Sekali lagi, aku.
Satu-satu bayangan pengiringku menjelas, menyentuh impi dan angan mereka. Meninggalkan aku pada keadaan yang belum berpindah. Maju pun mundur.
Aku ingin merasa juga, bagaimana terbang melayang menuju awan-awan di langit luas. Menyibakkan mereka, dari angkasa yang menampilkan aku di sana. Sama. Bahkan lebih.
Sejauh ini, yang diberikan kepadaku, kami semua diciptakan sama.
Dan masing-masing sudah dibagi benih-benih yang berjodoh bagi mereka.
Seharusnya begitu juga aku.
Mereka memiliki kesempatan, dan hasil atas peluh mereka memenuhi lingkaran kesempatan.
Dan seharusnya begitu juga aku.

Sunday, August 14, 2011

14 Agustus 2011.

Bulan penuh, putih-oranye.
Orang-orang lewat, sarung-mukena.
Saling berbicara, kadang sampai tertawa.
Bendera-bendera, berwarna-warni.
Terdengar sangat-sangat-sangat menyenangkan, bukan?
Namun ada satu hal, yang harus disayangkan.
Di samping setiap hal indah sebelumnya, terduduk pada teras rumah beberapa laki-laki usia 30an.
Saling bercengkerama, dan tidak mengambil kesempatannya bertemu Tuhan.

Saturday, August 13, 2011

Triste.

French.

Alasan? For sure?

Empat?
Empat dan 4 sebagai judul 2 postingan sebelumnya kan, ya?
Meski sekarang aku tidak tahu tengah berbicara pada siapa, dan... ah, sudah.
Bukan angka pada kalender yang menunjukkan seseorang muncul ke dunia.
Bukan angka yang menunjukkan urutan huruf pada abjad, yang mengahrah pada inisial seseorang. D? Memang siapa D?
Dan sejujurnya, aku kehilangan memori akan alasanku meletakkan angka 4 dan kata empat di sana.

Empat.

Aku tidak suka akan perasaan yang muncul saat aku menyadari bahwa aku tidak mengenali figur yang aku pikir begitu dekat dengan aku. Figur yang aku pikir tidak peduli, mempertaruhkan hidupnya untuk aku.

4.

Dan timing adalah hal yang selalu tidak tepat buatku. Aku berharap kepada hal pertama disaat hal kedua tepat di depan mataku. Dan saat perasaanku berbelok kepada hal kedua, dia menghilang entah kemana.

Tuesday, August 2, 2011

Sebentar lagi. Dan harus memilih, juga berusaha.

  • Fakultas Farmasi
  • Fakultas Ilmu Budaya
    • Jurusan Arkeologi
    • Jurusan Sastra Indonesia
    • Jurusan Sastra Nusantara
    • Jurusan Sastra Prancis
  • Fakultas Kedokteran
  • Fakultas Psikologi

Monday, August 1, 2011

Random.

"Terus kalau lo nggak punya temen gini salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? Kalau gue bilang tuh ya, lo itu emang bener-bener sakit jiwa!" -Cinta, AADC.

Thursday, July 21, 2011

Untitled.

We come to love not by finding a perfect person, but by learning to see an imperfect person perfectly. -Anonymous

In the end you always go back to the people that were there in the beginning. -Dawson's Creek

Wishing only wouldn't make that much of a change; it's believing that does all the work. -Selam Mussie

What makes this life beautiful isn't where, what, who, or anything we are; but with who we are. -Dyah Ayu Maulidya F.

Love isn't about "how you'll makes me smile?" but "this is my way to make you smile." -Dyah Ayu Maulidya F.

The Man who Can't be Moved. The Script.

Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag, I'm not gonna move
Got some words on cardboard, got your picture in my hand
Saying if you see this girl can you tell her where I am

Some try to hand me money, they don't understand
I'm not broke I'm just a broken hearted man
I know it makes no sense, but what else can I do
How can I move on when I've been in love with you

'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'd see me waiting for you on the corner of the street

So I'm not moving
I'm not moving

Policeman says son you can't stay here
I said there's someone I'm waiting for if it's a day, a month, a year
Gotta stand my ground even if it rains or snows
If she changes her mind this is the first place she will go

'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you see me waiting for you on the corner of the street

So I'm not moving
I'm not moving
I'm not moving
I'm not moving

People talk about the guy
Who's waiting on a girl, oh whoa
There are no holes in his shoes
But a big hole in his world

Maybe I'll get famous as the man who can't be moved
And maybe you won't mean to but you'll see me on the news
And you'll come running to the corner
'Cause you'll know it's just for you

I'm the man who can't be moved
I'm the man who can't be moved

'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we meet
Oh, you see me waiting for you on a corner of the street

So I'm not moving
('Cause if one day you wake up, find that you're missing me)
I'm not moving
(And your heart starts to wonder where on this earth I could be)
I'm not moving
(Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet)
I'm not moving
(Oh, you see me waiting for you on a corner of the street)

Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag, I'm not gonna move

Wednesday, July 20, 2011

Semacam Kisah Masa Lalu.

Kamis, 10 Desember 2009. 16:20 WIB.
Hanyalah sebuah kisah yang menyayat hati.
Baru saja saya melihat sepasang bapak dan ibu dengan wajah yang terlihat berseri-seri saling bergandengan tangan untuk saling membantu menyeberang jalan. Masih dengan mimik yang sama, bapak itu melambai-lambaikan tangan ke kiri-kanan bak pejabat yang sedang melangkah diantara rakyat-rakyatnya dengan ibu yang mengikuti tepat disampingnya. Awalnya saya pikir bapak dan ibu itu sedang ber-nostalgia mengenang masa mudanya. Tapi ternyata tidak, bapak itu bukanlah seorang pejabat negeri ini dan tidak sedang mengenang masa-masa mudanya. Jiwa bapak ibu ini menderita didalam raganya. mungkin saja bapak ini telah lama ingin membahagiakan istrinya, ibu itu. Ingin memiliki banyak uang dan terkenal sehingga beliau bisa mempunyai keluarga yang bahagia. Ya, cinta memang buta dan bisa jadi penyebab seseorang menderita. Ibu, bapak. semoga cinta kalian abadi. Dan satu lagi, semoga nantinya bapak bisa membahagiakan ibu. mungkin nanti, atau besok di alam sana.

Tertangkap Mata, dan Terekam pada Ingatan.

"Bukan berarti gue selalu mencoba untuk lupa atau selalu mencoba untuk lari. Kalo lagi kecapekan aja. Tapi sayangnya gue lebih sering kecapekan daripada nggak. Sering gue berharap jadi orang yang apatis. Nggak peduli. Nggak punya emosi. Tapi yang gue punya tinggal hidup gue. Cuma ini. Nggak ada lagi. Nyia-nyiain berarti mati. Jadi, ya gue terpaksa bertahan. Dengan segala cara yang gue tau dan gue bisa."

"Hidup itu cuma bisa nyanyiin satu macem lagu aja. Elegi. Tau elegi itu apa? Lagu sedih. Hidup cuma bisa nyanyi lagu itu aja. Dia nggak bisa nyanyi yang lain untuk kami, Tar. Kadang kami punya cukup kekuatan untuk ngedengerin. Kadang nggak. Masalah muncul kalo kami lagi nggak kuat. Nggak ada cara lain kecuali lari. Gue lari sendirian. Ari lari sendirian. Seneng juga sebenernya lari sama-sama. Paling nggak ada tangan yang bisa dipegang. Nggak terasa sendirian. Sayangnya nggak bisa begitu."

"Dan kalo lo harus berangkat perang setiap hari, satu kali dua puluh empat jam, tanpa jeda, lo bukan cuma akan babak belur di satu sisi. Semuanya. Fisik, hati, pikiran, emosi, akal sehat, semangat. Lo akan jadi orang yang mencari-cari fatamorgana dan delusi."

"Tuhan menegur umat-Nya dengan banyak cara. Dengan banyak cara juga Dia mengetuk kekerasan hati mereka dan meminta untuk memaafkan satu sama lain."

Source: Jingga dan Senja. Jingga dalam Elegi.

Friday, July 15, 2011

Hati yang tertinggal, di Sepuluh A.

Sepuluh A, atau yang kami sebut "Aku Benci Kelas A". Terdengar ganjil memang, kami menyebutnya seperti itu. Tapi jujur, itu yang aku rasakan dulu. Dulu sekali, waktu aku masih gampang kemakan omongan orang dan pikiran sendiri. Tapi taukah? Aku, kami cinta XA sekarang.

Dan sebenernya aku gak tau mau bawa tulisan ini ke arah mana, aku cuma butuh tempat buat numpahin semuanya yang ada di pikiranku. Aku kangen kalian, XA. Mungkin beberapa atau bahkan banyak dari kalian bisa bilang "Kan kita masih satu sekolah, masih bisa ketemu setiap istirahat setiap pulang sekolah atau kapan aja." Tapi buat aku ketemu di tempat lain di luar ruangan tempat kita pertama ketemu, tempat kita pertama kenal, rasanya gak sama lagi. Tau gak? Aku kangen waktu aku masuk kelas dan liat papan tulis masih penuh sama tulisan&gambar guru yang ngajar ataupun dari kalian. Aku kangen asal naruh kertas-kertas gak kepake ke mejanya Raja-Raka. Aku kangen suara-suara berisik dari parkiran yang kedengeran dari kelas kita kalo udah jam setengah tujuh. Aku kangen jayus&garingnya becandaan kalian terutama dari Jalil, Elvani, Arif, Daksa, Faiz, Ikhwan, Ardi, Damar dan "Terima kasih, bu guru." mereka. Aku kangen sholat dluha pagi-pagi bareng Tensi, Hestina, Asiah, Nisa. Aku kangen makan sambil ngobrol di ikki ataupun di koridor bareng Mitha, Della, Laili, Rani, Milla, Mega, Arin, Ayus. Dan maaf aku gak tau harus nulis apa buat kalian, Iwan, Jodhi, Rifki, Putut, Ghea, Eva, Alfi, Dara, Ichak, Upik, Tia, Tapi aku juga kangen satu kelas sama kalian. 

Dan aku merindukan setiap objek hidup, mati, maupun yang nggak berwujud sama sekali, yang pernah ada dan terjadi dan tinggal di XA.

Percaya atau enggak, aku udah sama sekali gak nyesel masuk SMA N 5 Yogyakarta. Bahkan aku nyesel dulu pernah kepikiran buat pindah sekolah. Dan jujur, aku sedih. Beberapa hari lalu tau kalo salah satu dari kita mau pindah. Dan yang berarti kata-kata "Kan kita masih satu sekolah, masih bisa ketemu setiap istirahat setiap pulang sekolah atau kapan aja." gak berlaku lagi sekarang. Baik-baik ya, Elvani, di sekolah yang baru.

Friday, June 3, 2011

Another random thing, fuckin' perfect.

Made a wrong turn, once or twice.
Dug my way out, blood and fire.
Bad decisions, that's alright.
Welcome to my silly life.
Mistreated, misplaced, misunderstood.
Miss 'No way, it's all good', it didn't slow me down.
Mistaken, always second guessing, underestimated.
Look, I'm still around.
Pretty, pretty please, don't you ever, ever feel
Like you're less than fuckin' perfect.
Pretty, pretty please, if you ever, ever feel like you're nothing,
You're fuckin' perfect to me
You're so mean when you talk about yourself; you were wrong.
Change the voices in your head; make them like you instead.
So complicated, look happy, you'll make it
Filled with so much hatred, such a tired game.
It's enough; I've done all I can think of.
Chased down all my demons, I've seen you do the same.
Woah ohh, pretty, pretty please, don't you ever, ever feel
Like you're less than fuckin' perfect.
Pretty, pretty please, if you ever, ever feel like you're nothing,
You're fuckin' perfect to me.
The whole world's scared so I swallow the fear.
The only thing I should be drinking is an ice cold beer.
So cool in line, and we try try try, but we try too hard and it's a waste of my time.
Done looking for the critics, cause they're everywhere.
They dont like my jeans; they don't get my hair.
Exchange ourselves, and we do it all the time.
Why do we do that? Why do I do that?
Why do I do that?
Yeah, oh, oh baby, pretty baby
Pretty, pretty please, don't you ever, ever feel
Like you're less than fuckin' perfect.
Pretty,pretty please, if you ever, ever feel
Like you're nothing, you're fuckin' perfect to me, yeahhh.
You're perfect, you're perfect
Ohh pretty, pretty please, don't you ever, ever feel
Like you're less than fuckin' perfect.
Pretty, pretty please, if you ever, ever feel, like you're nothing
You're fuckin' perfect to me

Thursday, June 2, 2011

Klise. Klise. Klise.

Dan, Tuhan, sesungguhnya apa makna atas rangkaian huruf yang Engkau ciptakan ini? Klise. Ya, klise.

Wednesday, June 1, 2011

Tidak lagi. Atau paling tidak, untuk saat ini.

Masih 1 Juni 2011, dan sekarang jam di ponselku menunjukkan waktu pukul 7:39.
Aku baru saja kehilangan mood mengerjakan pekerjaan rumah dari guru kimiaku, Ibu Tini Tedjowati.
Dan seperti biasa, aku selalu meletakkan ponsel di samping tempat aku belajar dalam keadaan memutar suatu lagu. Beberapa kali perhatianku teralihkan dari pekerjaanku ke ponselku ketika dia mulai memainkan rangkaian nada dan melodi yang, ah, entah kenapa menciptakan suatu beban yang berat dan begitu saja masuk ke dalam dadaku. Berat. Benar-benar berat.
Dan aku rasa nada dan melodi itu harusnya tidak aku temui dulu hingga tubuh&perasaan&akalku sudah cukup kuat untuk berteman kembali dengan kenyataan.
Dan itu berarti tidak ada lagi Bulan yang Sama tidak ada lagi How does it feels tidak ada lagi When you're gone tidak ada lagi Ada yang Hilang tidak ada lagi Alasanku tidak ada lagi Complicated tidak ada lagi Because of you tidak ada lagi Different Summers tidak ada lagi Fall for you tidak ada lagi Grenade tidak ada lagi Just the Way you're tidak ada lagi Love Story tidak ada lagi Marry you tidak ada lagi More than Word tidak ada lagi Talking to the Moon tidak ada lagi Teardrops on My Guitar tidak ada lagi Two is Better than One tidak ada lagi When you Love Someone tidak ada lagi You Belong with me tidak ada lagi Your Call tidak ada lagi Until you're mine. Sampai organ tubuhku bisa menerima kejutan darimu.
Menyedihkan. Apa? Aku menyedihkan. Iya, aku tahu aku menyedihkan. Lalu apa masalahmu?
Baik, ini sudah cukup. Cukup. Aku harus pergi, memasukkan oksigen ke dalam darahku dan melepaskan ikatan karbon dioksida dalam dadaku.
1 Juni 2011, 8:09.

Because of you. Ya, karena kamu.

I will not make
The same mistakes that you did
I will not let myself
'Cause my heart so much misery
I will not break
The way you did, you fell so hard
I've learned the hard way
To never let it get that far
Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you, I am afraid
I lose my way
And it's not too long before you point it out
I cannot cry
Because I know that's weakness in your eyes
I'm forced to fake
A smile, a laugh, every day of my life
My heart can't possibly break
When it wasn't even whole to start with
Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you, I am afraid
I watched you die, I heard you cry
Every night in your sleep
I was so young, you should have known
Better than to lean on me
You never thought of anyone else
You just saw your pain
Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I tried my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Because of you, I am afraid
Because of you
Because of you

Dan, tahukah? Aku merasa masih begitu labil dengan memunculkan lirik lagu seperti ini. Tapi biar sajalah, seperti yang aku katakan di post-ku sebelumnya,  1 Juni 2011 adalah hari-menyenangkan-tetapi-tidak-terjadiku. Atau bisa dibilang bahwa hari-menyenangkan-tetapi-tidak-terjadiku=galau. Galau!

800 sekian karakter.

1 Juni 2011.
Hari Kesaktian Pancasila, kan ya?
Tapi tahu, tidak? Hari ini tidak sakti buatku. Atau mungkin, hari ini adalah yang terburuk buatku. Setelah sekian lama perasaanku melayang-layang diterbangkan oleh udara kesenangan. Kesenangan yang kamu sebabkan.
Sepertinya sebegitu banyak waktu yang aku pergunakan untuk tidak mengacuhkanmu, kamu pakai untuk menyiapkan begitu banyak kejutan. Kejutan yang kau buat untuk menggerogoti aku hingga habis.
Dan pagi ini, aku sangat berharap akan menjadi hari yang indah buatku. Tapi tidak. Teman-temanku yang muncul dengan kata-kata masa bodohnya, yang mengawali hari-semoga-indahku, yang menyesakkan. Terasa seperti dirancang olehmu.
Kamu dan teman-temanmu. Yang kemudian membawa kembali perasaan tidak enakku denan berbicara akan suatu hal yang, ah, lagi-lagi seperti menginjak-injak aku dan membuang aku ke atas tumpukkan kotoran di tepi pelabuhan.
Kamu hebat, ya?
Dan masih ada lagikah yang kau siapkan dan akan kamu berikan buatku? Untuk kembali menendang sisa-sisa atasku yang sudah berhasil kembali ke hidupmu, dari kamu letakkan aku di atas setumpuk kotoran?
Tapi untuk kamu tahu saja, tubuhku juga organ terbesarnya masih bisa menerima apa-apa yang mau kamu berikan, kok. Jadi, terima kasih atas hari-semoga-menyenangkan-tetapi-tidak-terjadiku ini.

Friday, March 11, 2011

Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono♥

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada