Friday, September 30, 2011

Hehuruf sore.

Ciuman pertama?
Hmm, bedak bayi-minyak telon-cologne paling wangi tapi tidak bertahan cukup lama itu?
Bukan.
Bukan bau dari orang yang aku cium.
Tidak.
Aku tak pula menumpahkan semua itu di wajahku sebelum berciuman dengan seseorang.
Mencium tak selalu dengan bibir bukan?

Friday, September 23, 2011

Kenyataan yang tak nyata. Dunia yang tak mendunia.

Aku usai berkelana.
Memainkan papan kayu yang kubawa ke negeri Bahari.
Menyingkap satu-persatu rerumput laut.
Menatap atas bebatu karang.
Atas makhluk hidrogen oksida.
Menemukan arti setiap maknanya.
Hingga aku menemukan satu kata.
Yang tak nyata.
Seperti dunia.
Yang katanya tak selebar daun kelor.
"SEHARI SAJA. Kami mengepak koper lalu berpisah di ujung jalan. Ternyata selamanya."
Entah oleh siapa.

Peka. Tak peka. Peka tak peka.

"Kemungkinannya, banyak yang mendekat padamu. Hanya saja pekamu tak peka." Seseorang, dengan perubahan. Kepadaku.

Tuesday, September 20, 2011

Kata yang tak teracuhkan.

Yang menyenangkan dari hal ini adalah, dia lebih baik dari seorang teman meski tak lebih baik dari seorang yang lebih dekat.
Kau bisa saja membuncahkan segala pada batang tenggorokmu, namun kau takkan pernah mendapat balasan darinya.
Tapi jangan pernah lupa, bahwasanya tak semua tanda tanya pada otakmu membutuhkan titik. terkadang yang ia perlukan cukup sebuah koma.
Tidak semua tanyamu membutuhkan jawaban. Satu waktu dia hanya memerlukan pelampiasan. 
Dan pada hal itulah aku menggali, menemukan komaku.
Meletakkannya dalam saku pada hati, dan mengubur semua kata pada lubang sisa galian.
Dan saat ini, aku tengah menggali. Dalam. Begitu dalam. Bukan untuk koma, hanya tanda tanya.
Isi kepalaku bilang, aku masih punya tanda tanya. Namun dalam entah berapa kali dua puluh empat jam ini, hati tak kunjung bertemu dengannya.
Atau, aku harus berlari? Lalu terbang. Mengambil ancang-ancang, dan menangkap tanya yang berterbangan.

Thursday, September 8, 2011

Words.

Akan kukirimkan perkamen buram, yang dapat menuliskan kata. Bagimu, yang usai melewati se-per-entah-berapa masa hidupmu. Bersama dedoa yang kuterbangkan bersamanya.

Wednesday, September 7, 2011

Berlarilah menuju bahagiamu.
Aku melepaskanmu kini.
Tiada lagi macam pertanyaan mencercamu.
Kembalilah.
Kembalilah ke pelukan ibu alammu.

Alasan atas kamu.

Kamu.
Kamu adalah alasan untuk aku menulis segala kata.
Kamu adalah alasan tercipta segala rasa, pada perasaanku.
Kamu adalah gambar-gambar yang terlukis pada langit sore.
Kamu adalah segala hal menyenangkan dalam hidupku.
Kamu adalah lilin pada gelapku.
Kamu adalah pemilik nama yang terpatri di ingatanku.
Kamu adalah alasan aku menunggu di senja hari yang tak cerah.
Kamu adalah pembangkit senyumku bertenagakan perasaan.
Kamu adalah alasan muncul deru angin lembut yang menyenggol, saat aku memejamkan mata.
Kamu adalah nyanyian yang terdengar dari kejauhan, namun begitu jelas tertangkap telingaku.
Kamu adalah pengisi hatiku dalam keadaan default.
Kamu.
Kamu.
Kamu.

Seharusnya begitu juga aku.

Maafkan aku, yang sempat mempertanyakan eksistensi akan Tuhan. Tapi dari kalimat pepatah yang katanya adalah benar, aku belum banyak melihat kebenaran terjadi. Aku. Sekali lagi, aku.
Satu-satu bayangan pengiringku menjelas, menyentuh impi dan angan mereka. Meninggalkan aku pada keadaan yang belum berpindah. Maju pun mundur.
Aku ingin merasa juga, bagaimana terbang melayang menuju awan-awan di langit luas. Menyibakkan mereka, dari angkasa yang menampilkan aku di sana. Sama. Bahkan lebih.
Sejauh ini, yang diberikan kepadaku, kami semua diciptakan sama.
Dan masing-masing sudah dibagi benih-benih yang berjodoh bagi mereka.
Seharusnya begitu juga aku.
Mereka memiliki kesempatan, dan hasil atas peluh mereka memenuhi lingkaran kesempatan.
Dan seharusnya begitu juga aku.