Sunday, October 30, 2011

Need you, now?

"Guess, I'd rather hurt than feel nothing at all." -Lady Antebellum.

But, no. I'd rather feel nothing. But, no. Not at all.

Hari ini tanggal, ah masih sama dengan milik tahun lalu.

Hari sudah gelap. Sudah lama malah, membawa terang pulang.
Habis 2 kali 60 menit aku pakai, membuka- membaca-mengingat-membuang dengan lipatan. Jauh-jauh.

Aksara-aksara masa lalu muncul lagi di layar.
Nama-nama menyedihkan, pula bahagia kembali lagi mengisi kepalaku. Tiada setitik tersisa untuk ilmu alam.

Hari 1, A datang kepadaku.
Hari 2, A bawa aku sesuatu.
Hari 3, A tersenyum atasku.
Begitu.

Yang lain? Rentet-rentet kalimat jejaring, yang begitu klise mendarat di alamat setiap satu.
Hapus. Tinggalkan. Hapus. Hapus. Hapus. Tinggalkan. Hapus.
Begitu lagi.
Sampai hampir menuju awal aku temukan. Dulu kamu tak menemukan lelah menunggu kataku. Coba lihat sekarang. Aku beri selamat bagimu. Hebat.

Sekarang aku yang tidak bertemu ujung asa menanti kalimat milikmu, hanya saja kamu sudah terlalu jauh aku buat.

Ternyata hari gelap.

Aku ini sepi.
Bukan. Bukan kesepian.
Aku sepi.
Kau lihat? Hingar di tepianku.
Tapi tiada satu berubah.
Aku masih sepi.

Angin. Angin. Angin.

ANGIN, 1

Sapardi Djoko Damono

Angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "Hei siapa ini yang mendadak di depanku?"

Angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi.

-- sampai pagi tadi:

Ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

ANGIN, 2

Sapardi Djoko Damono

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.

Seekor ular lewat, menghindar.

Lelaki itu masih tidur.

Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang

di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

ANGIN, 3

Sapardi Djoko Damono

"Seandainya aku bukan ......

Tapi kau angin!

Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,

menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.

"Seandainya aku . . . ., ."

Tapi kau angin!

Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.

"Seandainya ......

Tapi kau angin!

Jangan menjerit:

Semerbakmu memekakkanku.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

Ini baru yang pertama, sisanya belum tercipta.

Dia lelaki yang berdiri paling lama. Bertahan, mungkin selamanya. Selama dia bisa membawa raga dan kawannya, di darat kehidupan.
Ya, paling lama. Ya, selamanya. Ya, dia tak mengenal siapa.
Tidak, dia tidak bertemu ujung asa. Tidak, dia tak lelah berjaga. Tidak, dia tak pula lupa apa yang harus ia bawa di kala senja. Esok pagi, dan tetap bernyawa.
Selamat pagi, Dunia. Tiada lagi manusia. Aku? Ah, aku masih manusia. Yang tersisa.
Begitu tebakku, atas kata hatinya. Kata hati, sejalan menyapa manekin-manekin tengah bersenda di ujung-ujung persimpangan. Namun raib, ketika seorang berambut gelap. Sutra melapis. Senyum tipis merah jambu, ia temui di tengah hari. Seorang, manekin tentu saja.
Jatuh cinta? Bisa saja. Mau dengan siapa? Bukan, bukan manekinnya. Wanita. Ia temui setelah dia selesaikan semuanya.
Pagi ini areal pekat yang menampung pesakit-pesakit kembali ia sambangi, bersama kawan kecilnya. Tentu tepat di kiri langkah-langkah panjangnya.
Tidak. Tuhan, tolong jangan. Jangan biarkan dia kehilangan tanggungan. Kehilangan kehidupan!
Syukurlah! Terima kasih, Tuhan.
Makhluk ini benar tercipta sebagai kawan manusia. Dia kembali.

Hujan bulan Juni.

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni.
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu.

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni.
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu.

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni.
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.


Sapardi Djoko Damono.

Sunday, October 23, 2011

Leo Tolstoy's.

Art is not a handicraft, it is the transmission of feeling the artist has experienced.

Truth, like gold, is to be obtained not by its growth, but by washing away from it all that is not gold.

All happy families resemble one another, each happy familly is unhappy in its on way.

All, everything that I understand, I understand because I love.

If so many men, so many minds, certainly so many hearts, so many kinds of love.

In the name of God, stop a moment, cease your work, look around you.

Éclair. Pagi Terakhir di Rusia.

Seandainya bisa, aku ingin terbang bersamamu dan burung-burung di atas sana. Aku ingin terus duduk di bawah teduhnya pohon-berbagi éclair, ditemani matahari dan angin sepoi-sepoi. Aku ingin terus menggenggam jari-jemarimu, berbagi rasa dan hangat tubuh-selamanya.

Sayangnya, gravitasi menghalangiku. Putaran bumi menambah setiap detik di hari-hari kita. Seperti lilin yang terus terbakar, tanpa terasa waktu kita pun tidak tersisa banyak. Semua terasa terburu-buru. Perpisahan pun terasa semaikn menakutkan.

Aku rebah di tanah. Memejamkan mata kuat-kuat karena air mata yang menderas "Aku masih di sini," bisikmu, selirih angin sore. Tapi aku tak percaya. Bagaimana jika saat aku membuka mata nanti, kau benar benar tiada?

Prisca Primasari.

23, October, 2011.

Pernahkah kamu, merasakan sesuatu seperti ini?
Perasaan ketika kamu, oh sungguh!
Benar-benar tak ingin menjejakkan telapak kakimu ke permukaan bumi manapun.
Tapi ada satu hal yang, kau tahu?
Yang bilamana kau mampu mengalah pada enggan hatimu.
Mungkin ada satu hal bahagia, yang bisa saja terjadi padamu.
Aku? Ya, aku.

Thursday, October 20, 2011

20, October, 2011.

I love photos, because the best thing about it is never change even the person inside it does.

Pernah mendengar kalimat seperti tadi?
Pernah merasa begitu bodoh sempat membawa rendah huruf-huruf tadi, sampai pada akhir kalimat ini yang menang kompetisi atasmu?
Aku? Dengan perasaan yang benar-benar menghitam, aku benarkan.
Ya. Aku benar dikalahkan.
Tuhan, seandainya bisa bisakah bawakan lagi aku waktu itu kembali meski aku harus menukarkan dengan materi? Bisa, Tuhan. Katakan aku mampu mendapatkannya. Aku mampu.
Sayang, dari kejauhan seperti Tuhan menjawab hatiku. Tidak.

Bodoh. Bodoh. Aku ini tak sepenuhnya apa yang dikata para yang mengenal aku.
Masih ada bodoh dalam aku, kalian tahu?
Dan, mungkin perasa yang tak bisa mengerti ini akan menambahkan sangat di sebelah bodoh yang terlanjur bersisian dengan namaku.
Bodoh.

Aku pernah tak acuh pada kalimat entah milik siapa itu.
Dan baru saja, kau tahu?
Aku menang, kemenangan yang menggandeng hitam.
Aku mampu mengubah segala hal yang sudah terbingkai manis yang harusnya tetap menjadi indah yang tiada mungkin mampu berubah.
Hebat kau bilang? Bodoh, ini bodoh. Kalah pun menang, tetap memperjelas busur panah yang berlabel bodoh. Di atasku.
Atas sok tahuku. Atas keyakinanku. Atas percayaku akan kata mereka yang aku todak pernah banyak bercela.

Bukan. Bukan mengubah posisi kehidupan di dalamnya.
Tapi aku. Aku mengubah anak lensa kehidupan potongan kenyataan itu sendiri.
Aku mematikan dia.

Ah! Mungkin kau akan membawa perasaanku ke tanah bila bisa melihat secara gamblang, dan bilang,
"Kamu tidak bodoh. Kamu hanya tak mengerti bagaimana garis hidup yang harus dilewati anak hasil mata ponselmu itu. Tenanglah, ini semua bukanlah membawa bencana besar."
Tidak akan datang bencana besar, katamu? Tuhan, putuskan aku mampu bertahan.
Bukan. Memang bukan manusia-manusia berharga tinggi pada hidupku. Yang tinggal di situ. Aku. Cuma aku.
Katakan saja akuhidupkan lagi masa laluku.
Anggap saja aku nyatakan lagi tangis lamaku.
Percayalah aku nyatakan lagi senyum di lampau milikku.
Lewat situ.
Dan untuk kau tahu, aku mematikan masa laluku.
Aku hapus memori-memori tuaku.
Entah hal apakah yang harusnya aku sandingkan dengan hatiku. Benci?
Ah. Tidak lagi nyata alasan aku melampaui kenyataan sampai batas ini. Aku lebih dari benci.

Saturday, October 15, 2011

8:34.

"Sekali nggak terima, yaa nggak terima kita sekolah di P." -Laili Nugraheni, 16, Pelajar hasil lemparan.

Wednesday, October 12, 2011

Ini hal yang dia minta? Enak saja.

Hujan? Benar, ini benar-benar hujan.
Aku harus bagaimana sekarang?
Pulang. Seharusnya aku pulang.
Tentu, rumah yang harusnya aku tuju.
Tapi, bukankah rumah harusnya jadi tempatmu mendekam.
Menghindar dari segala yang mengejar.
Melepas setiap yang kiranya merampas.
Berselimut di hari hujan?
Dan semua bukan ini mengartikan bukan rumah yang aku punyai sekarang.
Apakah itu, tempatku mendingin tanpa kata-kata, yang disebut rumah?
Apakah itu, di mana daun telingaku memerah atas marah, pantas aku sebut rumah?
Apakah itu, papan asaku berhenti di tengah perjalanan tanpa ada yang menghubungkan, adalah dikata rumah?
Bukankah, harusnya bukan aku kembali ke sana?
***
Snap! Bel penghenti jam belajar usai menyanyikan lelagunya.
Tulis yang aku benci topik dan akarnya ini bisa aku kembalikan ke Bapak Budi.
Enak saja, dia pikir sampah apa yang dia minta?
***
Ibu, aku lapar. Masak apa hari ini?

Monday, October 10, 2011

Petrichor.

Oktober baru turun dari kereta yang membawanya pulang dari peraduan.
Sudah tiba sejak 10 kali 24 jam lalu, malah.
Hanya saja wangi-wangi Petrichor tak kunjung menampakkan.
Petrichor?
Kau tahu, aroma rindu antara langit dengan bumi.
Hujan pada daratan.
Bebauan pra pertemuan.
"Tak rindukah kau pada lapisan yang sekarang kupijak, tuan? Atau tak lagi tertarik sampaikan rindumu lewat titik-titik sungai langit? Oh, kalian sudah saling berhubungan lewat ponsel, mungkin." aku hadapkan kepalaku kepada langit, aku tujukan tanyaku kepada awan.

Sunday, October 9, 2011

Katanya hadiah buat dia.

Hari itu Tuhan berbukti kepadaku.
Hadiah besar tak selalu berkemas kertas.
Hadiah besar tak selalu sebuah kejutan.
Kamu.
Ya, kamu.
Aku ingat betul bagaimana dia, orang yang mengambil aku dari ibuku, begitu bahagia.
Bahagia mendapati kamu sudah aku rengkuh beberapa waktu.
Dan, ah, untuk kau tahu saja.
Kau nakal waktu itu!
Kamu pikir aku ini apa? Seenaknya saja kamu daratkan ujung jemari kaki ke tubuhku.
Eh, tidak. Tidak, tidak.
Apa yang kamu buat itu tetap jadi senyum bagiku.
Saat itu juga. Aku tersenyum, memori itu menetap juga ternyata.
Padahal angka yang mengalikan 365 hari itu sudah beranak banyak.
Hmm, waktu cepat berlalu bukan, sayangku?
Sekarang kau menginjak tanah dewasa.
Kamu menawan dengan bahan merah muda dan rambut ditata.
Sayang, bukan lagi kamu milikku seutuhnya.

Dengan cinta,
ibunda.


PS: Kalau kamu disakitinya, menggelayut lagi di bahuku. Aku ajari bagaimana perlakukanmu.

Saturday, October 8, 2011

Unknown.

If you love somebody, let them go.
If they return, they were always yours.
If they don't, they never were.

9, October, 2011.

Aku tidak mengerti.
Sungguh!
Kebetulan, atau memang jalan Tuhan?
Membawa mataku kembali lagi padamu. Setelah begitu lama aku terlupa.

Untung saja!

Jendela di tepi ruang tamu masih aku biarkan terbuka.
Sengaja. Biar jemari lembut udara luar bisa menyentuh pipiku.
Biar angka-angka hasil ujian di sekolah hari ini terbang meninggalkan kepalaku, paling tidak sementara. Batinku.
Tunggu, suara kaki melangkah ada di depan situ!
Gerakan reflek kakiku membawa aku pergi. Meninggalkan pinggiran bingkai jendela.
Kecil-kecil aku mencoba melihat ke jalan depan.
Baru saja.
Sepasang mata hitam itu menemukan aku.
Pandanganku menabrak dia.
Tidak. Dia tidak terjatuh.
Tapi aku. Aku yang tenggelam. Tenggelam jauh di matanya.
***
Permukaan pintu rumahku tersentuh. Terketuk, dan bersuara.
Pemilik mata hitam tadi, datang.
Ah! Pantas saja aku sampai tenggelam.
Aku mengenalnya. Aku pernah jatuh karena dia.
Jatuh cinta.
***
Untung saja, aku biarkan jendela itu terbuka!

Kenapaaaaa. Dengan lima ekor a.

Pernah merasakan hal seperti ini?
Ketika ekor matamu menangkap satu sosok.
Yang dengan melihatnya saja mampu menjadikanmu tak karuan.
Jantungmu seperti berhenti berdegup.
Setiap saraf dalam tubuhmu melemah.
Dan jarum jam seakan berhenti melangkah?

Wednesday, October 5, 2011

Ibu guru yang berpakaian warna-warni itu.

Berlari, mengejar anak lelaki yang sengaja menarik sebelah kuciranmu. Jadi tidak seimbang yang kiri dan kanan.
Tertawa, bahkan terbahak. Ketika ibu guru berpakaian warna-warni itu menggelitik perut dan tengkukmu.
Menangis, menenggelamkan kepala di jangkauan kedua tangan di atas meja. Di keramaian, di hadapan teman-teman.
Menjadi sok jagoan, dan ganti memaksa tangis dan jeritan keluar. Merebut ayunan, jejungkitan, dan perosotan yang telah berkepunyaan.

Tuhan, tidakkah itu semua menyenangkan?
Memiliki teman yang akan berseru "Hei, kenapa menangis? Aku? Maaf.", menundukkan kepala dan mengiba.
Saling berteriak atas bangku ayunan yang dapat terbang, sampai-sampai ibu guru menggeret salah satu dari kami.
Dan menyatakan perasaan dengan cara yang menyenangkan, seperti sengaja menggeret ujung pakaian atau saling menggoda dan mengadu.
Oh, benar Tuhan! Segala itu menyenangkan!
Tiada bisakah aku sekali saja bermimpi, kembali, dan memperbaiki isi hati yang terlanjur patah ini?

Tuesday, October 4, 2011

Jemari bercerita.

Kisah ini terjadi beberapa purnama sebelum jemari saya bercerita.

Masih musim panas, di akhir bulan Juli. Gadis berambut hitam sebahu itu sibuk mengoceh di buku catatannya. Menggambarkan bagaimana dia bertemu sosok menyenangkan itu. Belum sampai setengah cerita, ia tutupi kisahnya dengan benang-benang kusut yang menyumbat kepalanya.
Air muka yang dulunya menyimpan kepolosan, tidak lagi sekarang. Hanya penyesalan. Dan air mata.
Kemana hilangnya dia? Tanganku apakan dia? Apa yang selama ini aku pikirkan terhadap dia? Suara hati dan isi kepalanya tak pernah berhenti mempertanyakan ini.
Memuakkan. Begitu umpatnya dalam hati, ketika dia harus menjadi burung hantu tunggal yang tak bersuara. Hinggap di pagar rumah seorang kaya, dan mendengarkan segala kebisingan yang berlalu-lalang.
Benci. Benci. Ini bukan hal yang benar dia inginkan. Bodoh. Bodoh sekali. Umpatnya lagi dalam hati.
Setelah selesai ia mengirimkan pesan terakhir, kepada pasangan hatinya. Yang dia anggap berusaha melepaskan pegangan. Yang dirasa tak lagi merengkuh erat.

Di lain garis lintang dan bujur, sebuah ponsel jatuh dari genggaman pemiliknya. Yang nyatanya sengaja memisah. Yang tengah mempersiapkan masa depannya, dan bersiap mengakhiri jarak yang akan terus ada antara dia dan kekasihnya.

Sang gadis kehilangan kejutan ulang tahun buatnya, dan cincin permata yang siap menjemputnya.

Sunday, October 2, 2011

Perbedaan ini aku cari sama-sama.

Tak selamanya milik kandang para pengicau. Tuhan juga menciptakan untuk hidup. Masing-masing satu.
Bedanya, Tuhan terlebih dulu menyelesaikan linimasa hidup dengan berbagai jalan cerita.
Sedang twitter, hidup perlu dilalui sebelum kamu menuliskan segala kisah di linimasanya.

Tuhan sudah menyiapkan, siapa teman mengelana bagi kamu.
Kamu bisa saja menemui manusia itu, di linimasa.
Dan aku menemukan kamu, yang bisa saja dijadikan-Nya jodohku!

Tuhan baik-baik menyisipkan angka-angka berarti bagimu.
Angka yang menunjukkan aku datang ke dunia.
Yang bisa dipakai nenekku membanggakan pernikahannya.

Bertemu, berpisah, mengulang waktu, mendapatkan sesuatu, dan yang terakhir itu.
Akhir yang telah tertuliskan, yang membuat kamu harus rela tidak mengumumkannya ke linimasa. Dan merapalkan doa-doa terakhir, pengakuan atas kepemilikan Tuhan.

Mungkin yang paling penting.

"Yang kau inginkan, tak selalu yang kau butuhkan. Mungkin memang yang paling penting." dengan perasaan gamang, aku menyenandungkan. Sambil terduduk di bangku taman, menerawang jauh menembus jungkat-jungkit dan perosotan yang diperebutkan jubelan orang. Isi kepalaku meninggalkan raganya yang disentuh-sentuh udara.

"Halo, sendirian?"
"Iya. Mau duduk? Duduk aja."
"Deo."
"Rila."
"Sengaja atau terbawa inih?"
"Hm?"
"Haha, patah hati ya, non? Ngelamun aja."
"Urusan kamu?"
"Bukan, tapi emang bener sih lagu kamu tadi."
"Lagu?"
"Yup, yang kamu inginkan tak selalu yang kamu butuhkan. Cinta yang kamu rindukan belum tentu yang kamu butuhkan, non."
"Dih!" pergi. Bersama tas jinjing dan gelas plastik bersisa kopi panas, aku pergi meninggalkan dia.
------------------------------------
Jauh melewati memori bertukar nama di bangku taman yang, ah ingin rasanya aku melempar sesuatu ke wajah Deo bila ingat akan katanya.
Kini aku jatuh cinta.
Benar apa katanya, dia yang sekarang aku genggam tangannya, cinta yang aku rindukan belum tentu yang aku butuhkan.

Saturday, October 1, 2011

Sabtu malam, langkah menuju kota kembang.

Sabtu itu terjadi 3 tahun lalu. Perjalanan pertamaku ke satu kota. Bandung.

"Benar tidak mau melanjutkan pembicaraan?" begitu katanya, pada satu pesan di ponselku. "Memang kamu mau apa? Aku temani sampai kamu pulas?" "Kalau memang bisa, kenapa tidak?" otakku memunculkan wajahnya yang tengah tersenyum kecil, senyuman jahil. Gagahnya naga-naga di film Eragon yang diputar tidak mampu merebut fokusku dari huruf-huruf itu.
"Aku sedang bersiap, menuju Bandung. Takutnya, bukannya aku menemani kamu, aku terlelap lebih dulu."
"Ah, begitu juga tak apa. Aku mau ikut kamu pergi, lewat sini." aku meleleh.

Tinggi. Namanya bagiku. Terdengar seperti kutu ya? Haha, tapi tubuhnya memang jauh meninggalkan kepalaku. Kemudian, katakan saja dia (sempat) dekat padaku, dan secuil hatiku (pun pernah) dia miliki. Kedekatan ini terkadang ia ubah menjadi jarak yang memisahkan. Di satu masa, dia bisa begitu baik dan menyenangkan. Di lain waktu, dia betul-betul membuat aku gemas. Dengan tidak mengacuhkanku, dan acuh pada subyek berambut panjang lain.

Jogja-Bandung. Bukan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di sana. Dan ketika bagian hatimu bersedia menyertai dan melewati penantian itu, tidakkah tiada satu mampu menolak?

Satu-persatu pesan saling bertukar. Tawa kecil beberapa kali keluar dari mulutku, atas guyonan-guyonan yang ia kirimkan. Tinggi. Tinggi sekali ia bawa hatiku.

Tengah malam. Setengah perjalan, entah ada di mana.
"Sudah malam, aku tidak mau membuat kelopak matamu beranak. Selamat tidur, hati-hati di sana. Aku berdoa untuk kamu. Aku ada buat kamu."

Bahagia, meski aku tidak tahu ada apa di tengah-tengah kita.
Perasaanku masih berbunga, terlambung jauh melewati batas bumi. Meski aku tak mengerti, apa yang esok akan terjadi.

Dan aku terpejam, mengakhiri hari. Menanti satu kota, bersama warna-warna merah jambu yang muncul di mana-mana. Jatuh cinta, lebih dalam. Di malam minggu, di sabtu malam.