Thursday, April 5, 2012

Petrichor.

Aku sudah lama berhenti menjadi penari dalam hujan. Kata ibu, perempuan besar, tidak main hujan. Kata ibu, aku sudah besar. Aku pindah profesi. Aku jadi penyanyi di bawah hujan, kini. Tak berbayar, maka itu lagu yang keluar bukan lagu-lagu besar ciptaan maestro kondang yang kunyanyikan dengan benar. Nadanya tak jelas berpijak ke tangga bernomor urut berapa. Siapa coba, bisa menarikan pita tenggoroknya yang gemetar berpeluk dingin, dengan langkah-langkah benar? 

Maret sudah habis kontrak. Lapaknya di kalender sudah diduduki oleh yang lain. Kalau maret tak lagi punya simpanan hari, menurut ibu guru di sekolah dasar, hujan ikut tak datang lagi.  Cuma hujan, datang ke bumi bakal lebih cepat dari maret. Oktober nanti datang membawa hujan. Oktober nanti aku kembali menyanyi. Dalam hujan.

Untuk kamu tahu, aku tak jatuh pada cinta punya hujan. Meski masih, satu-dua waktu, aku rindu menari di hadapnya. Aku jatuh oleh pesona yang dibawanya. Petrichor. Aku tak pernah benar-benar melihat rupanya. Yang aku temu, cuma wangi yang melekat di tubuhnya. Aku tak pernah benar-benar mengenalnya.

***

Awan bergulung menebal, meneguk cairan berpigmen abu. Angin ikut menari menyambut hujan sore ini, mengajarkan iramanya ke satu-dua benda yang tidak terikat di tangan pemiliknya. Tik. Tik. Tik. Anak-anak hujan datang, tak sabar menyebut rindu ke kulit bumi, saling kejar. Seperti tak lagi dapat dukungan, matahari menyembunyikan bentuk dari hingar ini. Dan kamu, lagi-lagi seperti menjemputku untuk kembali menari.  

Tidak sekarang, tapi. Mungkin nanti. Hujan belum datang dengan siklus yang benar.

No comments:

Post a Comment