Wednesday, July 20, 2011

Tertangkap Mata, dan Terekam pada Ingatan.

"Bukan berarti gue selalu mencoba untuk lupa atau selalu mencoba untuk lari. Kalo lagi kecapekan aja. Tapi sayangnya gue lebih sering kecapekan daripada nggak. Sering gue berharap jadi orang yang apatis. Nggak peduli. Nggak punya emosi. Tapi yang gue punya tinggal hidup gue. Cuma ini. Nggak ada lagi. Nyia-nyiain berarti mati. Jadi, ya gue terpaksa bertahan. Dengan segala cara yang gue tau dan gue bisa."

"Hidup itu cuma bisa nyanyiin satu macem lagu aja. Elegi. Tau elegi itu apa? Lagu sedih. Hidup cuma bisa nyanyi lagu itu aja. Dia nggak bisa nyanyi yang lain untuk kami, Tar. Kadang kami punya cukup kekuatan untuk ngedengerin. Kadang nggak. Masalah muncul kalo kami lagi nggak kuat. Nggak ada cara lain kecuali lari. Gue lari sendirian. Ari lari sendirian. Seneng juga sebenernya lari sama-sama. Paling nggak ada tangan yang bisa dipegang. Nggak terasa sendirian. Sayangnya nggak bisa begitu."

"Dan kalo lo harus berangkat perang setiap hari, satu kali dua puluh empat jam, tanpa jeda, lo bukan cuma akan babak belur di satu sisi. Semuanya. Fisik, hati, pikiran, emosi, akal sehat, semangat. Lo akan jadi orang yang mencari-cari fatamorgana dan delusi."

"Tuhan menegur umat-Nya dengan banyak cara. Dengan banyak cara juga Dia mengetuk kekerasan hati mereka dan meminta untuk memaafkan satu sama lain."

Source: Jingga dan Senja. Jingga dalam Elegi.

No comments:

Post a Comment