Friday, December 30, 2011

Dengar, dengar.

Dengar, dengar. Sekarang aku punya janji, dengan aku. Harusnya tidak ada - lagi. Tidak ada -.

La.

Kenapa La? Itu, yang terlintas.

Mimpi, khayal, harap. Itu harusnya punya posisi di awal satu yang baik dan harusnya jadi kenyataan. Bukan di belakang satu yang terlanjur jadi nyata dan tidak bahagia.

H. Harap.

Dan harapan yang tersisa atas ini semua, aku tidak lagi banyak berharap.

Ini isi kepalaku. Kalau tidak ke sini, harus dibawa ke mana lagi?

Halo, kamu.
Baik, bukan?
Aku datang dengan satu cerita di ujung-ujung jariku.
Tentu, karena aku tidak akan membawanya ke kenyataan. Cuma rentetan gambar di kepalaku.
Untuk kamu tahu, isi kepalaku tengah menggali mencari sisa-sisa memori akan lembaran pesan satu arah.
Ya.
Dengan jemarinya, berusaha merekap setiap yang tertangkap.
Menjadikannya serangkai kata. Yang, ah, anggap saja jadi satu kenangan.
Hanya, ada bagian yang terlupakan. Mungkin terbawa aliran, yang entah bisa keluar melalui jalur yang mana. Jalur dan lintas di kepalaku sudah terlalu rumit.

Bila begini, kemudian apa yang harus aku cipta ingat dan rekap?
Sebuah cerita tanpa ujung?

Tuesday, December 27, 2011

Senja!

Ini pekat yang terlihat. Yang di dapat hasil berebut waktu dengan gelap!

4:23.

Halo, kamu.
Apa kabar?
Aku? Anggap saja baik-baik saja, dengan setangkup rindu di tepi kepala.
Kamu.
Kamu tau? Aku menghitung titik yang kau cipta setiap habis 24 jamnya. Dan terkumpul, ah, lupakan. Nominalnya tak mungkin dapat nomor urut dan jadi prioritas di kamu.

Hari ini sudah habis satu pekan dari kamu benar-benar menghapus setiap catatan. Kamu ingat? Dan entah sudah berapa waktu aku melihat dan berpaling dari halamanmu. Menyingkap lembar-lembar pesan searah yang, benar hilang.
Untuk kamu tahu, aku masih punya tanda tanya semegah monumen nasional di kepalaku.
Ke mana saja, kamu?
Kenapa? Kenapa hilang?

Ah!
Satu titik sebesar ubin di dapur.
Hilang atas itu?
Atas bertemumu dengan subjek lain?
Atas berubahnya kamu? Keadaanmu? Posisimu?
Tapi harus membawa entah ke mana memori yang sudah ada?

Monday, December 26, 2011

“Seorang filsuf Yunani pernah berkata
bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan
tersial adalah umur tua.
(Catatan Seorang Demonstran, h. 96)”
― Soe Hok Gie
“Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.”
― Chairil Anwar

“Nasib adalah kesunyian masing-masing.”
― Chairil Anwar

“Sekali berarti. Sudah itu mati.”
― Chairil Anwar

“Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib
adalah kesunyian masing-masing.”
― Chairil Anwar

“Kami coba simpan nestapa. Kami coba kuburkan duka lara. Tapi perih,
tak bisa sembunyi. Ia menyebar kemana-mana.”
― Chairil Anwar

“Hidup hanya menunda kekalahan.”
― Chairil Anwar, Derai-derai Cemara

“Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.”
― Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang
Yang punya hati sedang sibuk menghapus jejak dan memori masa lalu. Jangan di ganggu. Atau kalau perlu belikan saja kaleng cat yang baru.

Abaikan. Di sini hanya aku yang bicara.

Rindu itu bukannya tidak pernah ada. Hanya aku mau sembunyi darinya. Aku tidak lagi mau hidup di kisah itu. Kisahmu. Lelah. Aku terlalu lelah kamu naik turunkan perasaannya. Aku lelah kamu pupuskan harapannya. Aku lelah kamu tunjuki suatu yang bahagia, yang aku tiada di dalamnya. Dan, ya. Dengan jelas aku melihatnya. Aku melihat ada yang tak sama atasmu. Atas keadaanmu. Atas posisimu. Sedih? Ya. Perih? Tentu. Tentu saja. Terlebih bila tiba-tiba kamu benar menghilang. Seperti mencoba membawa pergi bau wewangimu yang tertinggal di aku. Seperti menghapus setiap titik yang terbawa ke mana bersama aku. Harus seperti itu? Ah, aku pikir aku akan baik di tepi jemarimu. Nyatanya tepian itu malah menggores aku. Kamu selama ini memang tidak mengerti, bukan?

Saturday, December 17, 2011

"I never told you what I should have said. No, I never told you, I just held it in.
And now I miss everything about you."

Ini aku, yang dipupuskan harapannya.

Senja hampir habis tergigit pekat. Kalau nanti bertemu gelap di ujung sekat, itu aku. Terlanjur kaku dan mengabu. Terlalu lama dibiarkan terjaga di tepi pintu. Siapa mengerti ada satu yang kembali. Hanya kamu tak mengerti, hanya kamu belum mengerti.

Kamu tahu? Tak hanya sekali-dua aku tertangkap layu, menanam harap pada layar ponsel. Melihatkan namamu.

Lalu. Memang. Sebuah nama. Tapi bukan kamu. Yang ada di ujung harap.
Halo, tidakkah kau melihatku? Ini aku, yang dipupuskan harapannya. Oleh tak hanya satu. Oleh tak hanya kamu.

Untitled.

There's a missing in every missing, right?

Untitled.

And it's driving me mad, I miss you so bad. -@sekarrw

Saturday, December 10, 2011

Mengertilah. Dengan atau tanpa hal yang aku tulis ini.

Ini perasaanku, atau sekitar memang menjadi lebih sesak?
Dipenuhi hal-hal menyedihkan.
Dipenuhi kesepian yang, ah, kenapa ramai sekali di sini?
Hei, ini benar sepi, bukan? Kenapa bukan hening yang masuk ke pusat kepalaku? Berapa lama sepi mulai mengeluarkan bunyi?

Aku ada di ujung tempat tidur dengan sekali-dua melihat dan berharap layar akan memunculkan sesuatu, kala huruf-huruf ini mulai berbaris. Mulai mencari urutan tepat menyampaikan isi kepalaku, yang harusnya aku bisa tunjukkan sendiri. Seorang pengecut masih diam, di dalam aku. Dan telingaku masih tersumpal gulungan kesepian.

Belum, belum habis 50 jam aku mendapatimu. Lalu bagaimana aku bisa menjadi ini? Kau tahu? Semacam terlalu berharap. Yang kemudian pikiranku kecanduan harap. Dan sekarang hilang. Harap milik kepalaku hilang. Kamu.

Ke mana saja? Aku tiada bisa menemukan bekas pijakanmu. Atau, terlalu sibuk untuk kembali. Sekedar melihat aku, mendengarkan bagaimana hariku? Tidak bisakah, sekedar menyampai sapa?

Ah, aku tahu, aku terlihat terlalu lemah di sini. Berharap, kehilangan, bertanya, meminta. Aku minta kamu garis bawahi kekataku, seorang pengecut sedang datang di aku.
Terlebih untuk memulai terlebih dahulu. Terlebih untuk benar-benar terlihat tengah mencarimu.
Kembali, ya? Atau pinta aku untuk benar-benar meminta kamu untuk kembali. Pinta ke aku.

Aku, yang terlalu berlebihan menghadapi ini.

Bahkan suara di kepalaku habis termakan lelah, meminta aku berhenti mencipta mimpi dan berharap yang terlalu tinggi. Meminta aku berhenti menunggu setiap yang, bahkan aku sendiri tau, tak tampak jelas titik hentinya.